Potensi Hambatan Vaksinasi Covid-19

 


Jakarta - Upaya pengendalian pandemi Covid-19 terus berpacu dengan waktu. Berbagai strategi dilakukan pemerintah pusat maupun daerah melalui Satgas Penanganan Covid-19 masing-masing. Meski terkesan belum optimal terutama dalam sinkronisasi berbagai kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, namun semangat untuk menekan laju penularan kian masif agar tidak semakin 'liar'.

Harus diakui, karakteristik virus yang memiliki nama ilmiah severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) itu kian kompleks. Tercatat setidaknya 75 juta manusia di muka bumi telah terpapar virus tersebut, yang merenggut lebih dari 2 juta nyawa manusia. Di Indonesia, setali tiga uang jumlah yang terpapar tiap hari terus meningkat kisaran 700 ribuan, meski angka kesembuhan juga terus meningkat. Salah satu harapan sebagai jurus penyelamat adalah ketersediaan vaksin.

Pemerintah telah menetapkan enam jenis vaksin yang akan digunakan untuk vaksinasi Covid-19 di Indonesia. Keenam vaksin tersebut yaitu Bio Farma (Persero), Astra Zeneca-Oxford, Sinopharm, Moderna, Pfizer-BioNTech, dan Sinovac. Penetapan enam jenis vaksin itu melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor H.K.01.07/Menkes/9860/2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin Untuk Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19.

Memang dibutuhkan lebih dari satu jenis varian vaksin atau diversifikasi jenis vaksin virus corona untuk proses vaksinasi di Indonesia. Hal itu mengingat setiap jenis vaksin memiliki kriteria dan rentang penerima yang berbeda-beda. Selain itu juga tidak semua vaksin cocok untuk semua orang sehingga apabila seseorang karena kondisinya tidak bisa divaksin dengan jenis tertentu atau sebaliknya.

Meski nantinya telah dilakukan vaksinasi, namun strategi 3 M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) dan 3 T (testing, tracing, dan treatment) masih terus dilakukan hingga kasus benar-benar terkendali.

Potensi Hambatan

Rencana vaksinasi terus dimatangkan oleh pemerintah melalui roadmap atau grand design vaksinasi Covid-19 di Indonesia. Namun seiring dengan rencana tersebut terdapat sejumlah potensi hambatan yang muncul dalam implementasinya.

Pertama, adanya misinformasi atau hoax yang timbul terhadap vaksin, terutama vaksin bermerek Sinovac yang didatangkan dari China. Harus diakui, masih adanya stigma sebagian masyarakat terhadap produk-produk asal China tersebut. Hal ini merupakan asosiasi kualitas produk barang yang berasal dari China yang cenderung produknya kurang berkualitas. Perkembangan narasi inilah yang merusak kepercayaan terhadap vaksin Covid-19.

Hal yang lain adalah adanya dugaan motif politik dan ekonomi dari para pelaku dan institusi yang terlibat dalam pengembangan vaksin serta sejumlah kekhawatiran terhadap keamanan, kemanjuran, dan kebutuhan akan vaksin. Kondisi tersebut didukung hasil data survei persepsi masyarakat Kementerian Kesehatan bahwa baru 64,81 persen responden yang menerima vaksin, 7,60 persen menolak, dan sisanya 27,60 persen tidak tahu.

Kedua, adanya sejumlah hambatan berkaitan dengan kekhawatiran para peneliti vaksin COVID-19 yang mulai mencermati adanya pengaruh peningkatan kekebalan tubuh yang justru dapat meningkatkan penyakit daripada melindungi dari infeksi berikutnya. Peneliti menyebut ini sebagai "peningkatan yang bergantung pada antibodi" atau Antibody-Dependent Enhancement (ADE).

ADE adalah salah satu bentuk peningkatan kekebalan ketika komponen sistem kekebalan kita yang biasanya melindungi terhadap infeksi justru menjadi bumerang. ADE merupakan "efek samping" atau risiko yang lebih besar jika imunitas hasil vaksin tidaklah cukup untuk memberi perlindungan tubuh, menyebabkan virus terus menyebar bahkan kepada orang yang sudah diimunisasi. Meski dalam penelitian, ADE masih sebatas kemungkinan dan potensi yang harus diwaspadai ketika pembuatan vaksin dilakukan secara "instan".

Dengan kata lain dibutuhkan vaksin yang terbaik, bukan sekadar yang pertama paling cepat dibuat sehingga kontraproduktif terutama aspek efektivitas dan keamanan dan terkait keselamatan nyawa manusia. Kondisi inilah yang harus dijawab oleh pemerintah untuk meminimalisasi timbulnya retensi tersebut.

Ketiga, masih adanya tokoh agama dan masyarakat dimana sebagai role model dan public figure yang belum memperoleh keyakinan terhadap keamanan, kemanjuran atau potenitas dan aspek kehalalan yang kesemuanya harus dijawab oleh pemerintah. Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa dirinya sebagai orang pertama yang divaksinasi. Hal ini sangat penting untuk memberikan keyakinan atau menjawab keraguan masyarakat terhadap vaksin, serta menepis isu bahwa Indonesia digunakan sebagai kelinci percobaan untuk vaksinasi.

Secara ilmiah, memang (masih) ada risiko jika vaksin yang diberikan secara tidak benar dapat menyebabkannya menjadi kurang efektif atau lebih mungkin menimbulkan efek samping yang tidak perlu. Karena bagaimanapun juga vaksin merupakan bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan terhadap suatu penyakit, dengan kata lain merupakan produk biologi yang diketahui berasal dari virus, bakteri, atau dari kombinasi.

Sasaran vaksinasi adalah seluruh masyarakat Indonesia dengan tahapan prioritas kelompok sasaran. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kekebalan kelompok (herd immunity). Meskipun vaksinasi memberikan kekebalan secara individu, terciptanya herd immunity akan melindungi masyarakat yang tidak memperoleh vaksinasi karena alasan tertentu terlindungi dari paparan penyakit.

Namun, dalam perjalanan mungkin masih terdapat sasaran yang belum divaksinasi atau pun yang tidak mungkin divaksinasi, atau pun yang divaksinasi tapi ada kemungkinan re-infeksi, karena hingga saat ini belum terjawab durasi yang divaksin dapat bertahan dari potensi infeksi virus.

Oryz Setiawan Koordinator Bidang Advokasi dan Kebijakan Kesehatan Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) Cabang Bojonegoro, Jawa Timur


Share:

Recent Posts